Pendidikan
Sabtu, 19 November 2016
Pendidikan: Pembelajaran Agama Katolik Dengan Metode Bercerita...
Pendidikan: Pembelajaran Agama Katolik Dengan Metode Bercerita...: Pembelajaran Agama Yang Berkualitas dan Unggul Lewat Buku Cerita Santo-Santa Menjadi seorang guru di lembaga pendidikan , tentu ...
Pembelajaran Agama Katolik Dengan Metode Bercerita
Pembelajaran Agama Yang Berkualitas dan Unggul Lewat Buku Cerita Santo-Santa
Menjadi seorang guru di
lembaga pendidikan, tentu harus selalu mengevaluasi atau mengukur kadar atau kualitas
pelayanan kepada para siswa. Guru
memiliki peran yang sangat menentukan kesuksesan siswa bila seorang guru mampu menciptakan model pembelajaran yang
menggairahkan. Guru
agama secara khusus dalam hal ini lebih dari sekedar pemberi ilmu
pengetahuan. Guru adalah rekan belajar, model, pembimbing, fasilitator, bahkan
penentu kesuksesan
siswa. Banyak model pembelajaran yang
dapat ditawarkan kepada siswa, namun metode pembelajaran agama dengan model
bercerita sangat memungkinkan digandrungi oleh para siswa. Sebelum lebih jauh
berbicara mengenai metode pembelajaran agama dengan model bercerita baiklah
mengamati illustrasi dibawah ini.
Seorang remaja atau siswa cenderung
mengidolakan tokoh atau sosok tertentu. Misalnya seorang anak yang mengidolakan
pemain bola tersohor seperti Cristiano Ronaldo akan mencoba meniru gaya rambut,
gaya berjalan, dan gaya berpakaian seorang Ronaldo. Singkatnya, keteladanan
seorang Ronaldo akan merangsang anak untuk mengikuti gaya hidupnya. Verba
movent exempla trahunt (kata-kata menarik, keteladanan menggerakkan).
Illustrasi diatas mencerminkan
bagaimana keteladanan sangat berpengaruh terhadap perubahan karakter atau hidup
seorang remaja/siswa. Pembelajaran Agama Katolik dewasa ini tampaknya cukup
menarik bila menampilkan kekayaan cerita-cerita orang kudus dalam Gereja
Katolik. Cerita santo tersohor seperti St Fransiskus, St Theresia Avilla, St
Agustinus, St Tarsisius dan keteladanan santo lainnya akan merangsang setiap
siswa untuk meneladani iman dan cara hidup mereka.
Daya Tarik Buku Cerita
Santo-Santa
q Cerita mempunyai daya pikat yang luar
biasa, cerita dapat mengubah perilaku seorang anak. Cerita Malingkundang dapat
merubah anak agar lebih hormat kepada orangtua.
q
Mengapa
televisi bisa membuat orang terpengaruh? Hal ini karena cerita cukup mampu
menyentuh sisi emosional atau perasaan pembacanya. Pembaca cerita dapat dibawa
kesituasi dan kondisi dari cerita tersebut
Seorang
santo tentu memiliki riwayat hidup dan pengalaman kekayaan rohani. Kekayaan
rohani ini, terutama perjumpaan dengan Allah dapat dipaparkan kepada para siswa
sehingga siswa yang masih dalam tahap mengidolakan tersebut tertarik untuk
meneladaninya. Gereja Katolik memiliki segudang cerita santo-santa dalam
perjalanan sejarah gereja, dengan memperkenalkan sedikit banyak tokoh-tokoh
tersebut memungkinkan perubahan dalam gaya hidup siswa tersebut.
Siswa pada umumnya tertarik
mendengar cerita, gampang dirangsang oleh cerita, dan senang untuk bercerita.
Hal ini adalah salah satu kesempatan untuk mengajarkan cara-cara beriman
katolik dengan memperkenalkan cerita santo-santa tersebut. Setiap anak secara
bergantian menceritakan seorang santo yang diidolakannya dan dibagikan kepada
teman-temannya.
Pembelajaran agama dengan model
bercerita akan jauh lebih berkualitas dan unggul bila sang guru menampilkan model
bercerita tersebut. Cerita pada umumnya dapat dicerna dengan mudah dan siswa
dapat dengan mudah mengingatnya serta membagikannya kepada orang lain.
Pemisahan Gereja Barat dan Gereja Timur (Skisma)
PEMISAHAN
GEREJA BARAT DAN GEREJA TIMUR
A.
PENGANTAR
Selama bertahun-tahun
lamanya gereja di di barat dan timur tumbuh terpisah satu sama lain. Apa yang
pada suatu masa gereja tunggal, perlahan-lahan menjadi dua gereja dengan
identitasnya masing-masing. Banyak pendapat yang dicari untuk meneliti
pertikaian tersebut. Gereja Timur menggunakan bahasa Yunani dan Barat
menggunakan bahasa Latin. Ini berkat vulgata dan para teolog yang menulis dalam
bahasa itu.
Ada perbedaan
dalam bentuk-bentuk kebaktian yaitu sebagai berikut: roti yang dipakai untuk
perjamuan, penetapan tanggal mulai puasa, dan cara merayakan misa dan kaisar Leo III melarang penghormatan kepada ikon
kristus dan bunda maria di mana gereja timur membuat ikon kristus yang tersalib
dalam sakrat maut, kristus yang hidup
dijadikan semacam anti kristus. Hingga kini penghormatan ikon masih dirayakan
oleh Gereja Timur pada hari Minggu pertama dalam bulam puasa sebagai hari raya
ajaran ortodoks Gereja Timur. [1]
Di timur para rohaniwan boleh menikah dan mempunyai ciri khas untuk tetap
memelihara janggut. Para imam di barat dilarang menikah dan mukanya dicukur
bersih. Ada perbedaan
teologi barat dan timur.
Gereja Ortodoks Timur masih
tetap memelihara suasana Gereja lama dalam hal tata gereja. Ia masih berpegang
pada sistim episkopal sebagai sisi pemerintahan Gereja. Kepala gereja yaitu
Patriak konstantinopel, hanya memegang kehormatan utama. patriak konstantinopel
berusaha untuk menjadi semacam paus Timur, sehinga menjadi sederajat mungkin
dengan Paus Roma, yang merupakan sumber sejati dari semua masalah. Dalam suatu
sisi kesatuan konstantinopel telah membuat semacam gereja rival yang bisa
beroposisi dengan roma. Sebaliknya, dalam Gereja Katolik
Roma uskup-uskup telah berada di bawah Sri Paus[2]. Dari kedudukan ini muncul
perbedaan pendapat yang berlangsung
selama berabad-abad lamanya meledak karena dua orang yang kuat bertikai. Timur
masih tetap memelihara suasana Gereja Pada
tahun 1043, Mikael Cerularius menjadi patriark Konstantinopel. Pada tahun 1049 Leo IX menjadi Paus.
Leo menginginkan Michael, dan melalui dia gereja Timur tunduk kepada Roma. Paus
mengirim utusan ke Konstantinopel tetapi Michael menolak untuk bertemu dengan
mereka. Maka utusan
tersebut mengucilkan Michael atas nama Paus. Sang patriark pun membalas dengan
mengucilkan utusan tersebut.
Dengan yang satu menuduh yang lain sebagai yang bukan
kristen sejati maka kedua uskup tersebut menciptakan skisma ( perpecahan gereja
). Namun bukan mereka sendiri penyebab perpecahan itu. Kedua orang yang
bertikai itu mempunyai sejarah perbedaan pendapat. Skisma tersebut menjadi aksi
terakhir untuk membuktikannya.
B. SUMBER-SUMBER PEMISAHAN GEREJA BARAT DAN
TIMUR
1.
Ikonoklasme
Ikonoklasme kerapkali diartikan sebagai
skandal perusakan gambar-gambar religius, tetapi yang secara khusus disponsori
oleh para Kaisar
Bizantin “ikonoklas”
yang meluas dari masa kepemerintahan Kaisar
Leo III Isaurian (717-741) hingga
zama restorasi gambar-gambar suci (843).
Segera setelah Kaisar Justinus mangkat,
timbullah satu skisma baru. Dalam tahun 726 Kaisar Leo mempermaklumatkan
perusakan segala patung didalam Gereja. Dekrit yang berlaku hampir seratus
tahun itu menyebabkan banyak kecemaran dan kematian. Perusakan patung Kristus
didepan istana menyebabkan suatu pemberontakan hebat. Leo dikucilkan oleh Paus
Gregorius II. Kaisar sendiri mencoba untuk merusakkan pula patung Santo Petrus
di Roma, dan untuk menangkap Paus. Sebuah armada laut dikirim ke Roma untuk
melaksanakan dekrit itu, tetapi armada itu tidak berhasil menerobos tantangan bersenjata
dari Italia dan Lombard. Pengganti-pengganti Leopun menganut politik yang sama.
Konsili konstantinopel mengucilkan setiap orang yang berdoa didepan patung.
Tetapi Irene, yang memegang kekuasaan
setelah suaminya Leo IV wafat, berusaha untuk mengembalikan ketentraman didalam
Gereja. Bersama Partriark St. Tarasius ia berusaha mengumpulkan Konsili
Ekumenis di Nicaea 787. Wakil-wakil paus mengumpulkan Konsili Ekumenis yang
ke-7 itu. Mengenai patung-patung konsili itu memberikan penjelasan sebagai berikut
: salib dan gambar-gambar suci, baik yang berwarna maupun dari batu ataupun
dari salah satu bahan lain, harus dipelihara. Semuanya itu bukanlah obyek penyembahan kita dalam arti kata yang
sebenarnya karena penyembahan itu hanya diberikan kepada Tuhan Allah saja
melainkan mereka itu berguna untuk mengarahkan pikiran kita kepada apa yang
dilukiskannya. Baiklah menghormatinya, membakar dupa dan lilin didepannya,
bukan saja karena hal ini sejalan dengan tradisi Gereja, tetapi juga karena
penghormatan itu benar-benar diberikan kepada Tuhan dan para suciNya, yang
dilukiskan oleh patung-patung itu.
Sengketa
ikonoklasme sama sekali tidak dapat dipandang sebagai perselisihan antara Timur
dan Barat. Sengketa ini pertama-tama menyangkut konflik intern Gereja Yunani.
Gereja ini berikhtiar membela kebebasannya dari intervensi Negara.
2.
Penjelasan Mengenai Kredo Nicea
Mengikuti
Yoh 15:26b, Konsili Konstantinopel Pertama pada tahun 381 memodifikasi
pernyataan Konsili Nicea Pertama tahun 325 dengan menyatakan bahwa Roh Kudus
"keluar dari Sang Bapa". Konsili ini tidak membahas secara khusus
mengenai asal-usul Roh Kudus. Oleh karena itu Kredo Nicea sering kali disebut
Kredo "Nicea-Konstantinopel" atau
"Niceno-Constantinopolitana." Kredo ini belum diterima secara resmi sampai
Konsili Efesus tahun 431.
Bilamana berpikir tentang Allah
sebagai Bapa, Putera, dan Roh Kudus (Trinitas), umat Kristiani yang mengikuti
Yesus (Mat 28:19) sudah sejak awal membuat pembedaan-pembedaan penting. Sang
Putera dan Roh Kudus dinyatakan berasal-usul abadi dari Sang Bapa; Sang Putera,
Logos Ilahi yang kekal itu (Yoh 1:1) "digenerasikan"
("dilahirkan" atau "diperanakkan") dari Sang Bapa,
sedangkan Roh Kudus "keluar" dari Sang Bapa. Pernyataan-pernyataan
ini dibuat dalam pengertian hakikat Allah yang kekal, atau "sebelum segala
abad" dalam kata-kata Kredo Nicea.
Di satu pihak, Kredo Nicea dan
Alkitab tidak secara eksplisit mengatakan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang
Putera serta Sang Bapa; jadi, tidak ada pernyataan bahwa ada asal-usul abadi
dari Roh Kudus selain dari Sang Bapa. Akan tetapi berbagai kelompok Kristiani
termasuk umat Katolik Romawi dan Protestan mendapati bukti implisit akan hal
tersebut dalam pernyataan-pernyataan lain mengenai Sang Putera dan Roh Kudus.
Sebagai contoh, Perjanjian Baru mengajarkan bahwa Roh Kudus bersaksi tentang
Sang Putera (1 Yoh 5:6) dan disebut "Roh Kristus" (Roma 8:9; Roma
15:5; Fil 1:19; 1 Pet 1:11) dan "Roh Sang Putera" (Gal 4:6). Sang
Putera, Yesus, juga berkata bahwa Dia akan "berdoa kepada Sang Bapa, dan
Dia akan memberikan kepadamu penolong yang lain untuk menyertaimu
selama-lamanya, yakni Roh kebenaran" (Yoh 14:16), dan bahwa Dia sendiri
akan mengutus Roh Kudus (Yoh 16:7).
Para Bapa Gereja menjelaskan lebih
lanjut bahwa Sang Bapa, Sang Putera, dan Roh Kudus adalah satu "hakikat"
(Bahasa Latin: "substantia", Bahasa Yunani: "ousia") dan
memiliki kehendak dan aktivitas yang sama, sehubungan dengan tindakan-tindakan
eksternal mereka (Bahasa Latin: actiones ad extra). Tradisi ini selanjutnya
ditegaskan kembali baik di Timur maupun di Barat, sepenuhnya disepakati pada
Abad Pertengahan oleh para teolog skolastik. Dalam makna "ekonomis"
kedua ini, Sang Bapa dikatakan mengutus Roh Kudus kepada kita melalui Sang
Putera (Kis 2:33; Titus 3:6). Skolastisisme secara eksplisit ditolak oleh
Gereja Timur sebagai bentuk validasi atas doktrin teologis.[3]
Di lain pihak, meskipun Perjanjian
Baru mengajarkan bahwa ada hubungan antara Sang Anak dan Roh Kudus, keilahian
Sang Anak dan Roh Kudus tidak sepenuhnya jelas dari Kitab Suci semata. Banyak
teolog secara historis tidak teryakinkan oleh naskah-naskah Kitab Suci, dan
bersedia mengutip Kitab Suci untuk membela penyangkalannya akan Trinitas.
Gereja Ortodoks Timur berkeyakinan
bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan diutus (pada hari Pentakosta) dari
Sang Bapa melalui Sang Anak. Gereja Latin di Barat menyatakan bahwa Roh Kudus
keluar baik dari Sang Bapa maupun Sang Putera (filioque). Gereja di Roma
menggunakan rumusan yang asli sebagaimana rumusan Gereja Ortodoks sampai awal
abad ke sebelas.[4]
Meskipun sejak lama sudah ada
indikasi-indikasi tentang asal-usul ganda Roh Kudus tersebut, termasuk di dalam
Kredo Atanasius serta sebuah epistola dogmatik dari Paus Leo I, namun klausa
filioque baru disisipkan pada Kredo Nicea saat Konsili Toledo III tahun 589.[5]
Hal tersebut dilakukan dengan tujuan utama untuk melawan bida’ah Arianisme,
yang mengajarkan bahwa Sang Putera which taught that the adalah makhluk ciptaan
dan yang tersebar luas di kalangan bangsa Jerman. Versi tambahan ini diterima
oleh para penguasa Visigoth setempat, yang sebelumnya menganut bida’ah Arianisme.
3.
Kontoversi Mengenai Filioque
Gereja
Timur berkeberatan atas versi Barat, karena menurut pemahaman mereka, kedudukan
Roh Kudus menjadi lebih rendah daripada kedudukan Sang Putera (Yesus Kristus);
apabila dikatakan bahwa Roh Kudus itu keluar dari Sang Bapa semata, maka
kedudukannya dengan Sang Putera menjadi setara.Gereja Barat di lain pihak
menekankan pada persekutuan kodrati antara Bapa dan Putera.
Menurut
tata aturan abadi antara pribadi-pribadi ilahi dalam persekutuan kodratiNya,
Bapa adalah asal-usul pertama dari Roh Kudus, sebagai pangkal tanpa pangkal,
tetapi juga sebagai Sang Bapa dari Sang Putera yang tunggal bersama dengan Dia
pangkal yang satu itu yang darinya Roh Kudus berasal. Apabila pandangan yang
sah dan saling melengkapi ini tidak ditegaskan secara berat sebelah, maka
identitas iman akan kenyataan satu misteri yang diakui dalam iman, tidak
dirugikan.
Penambahan
Filioque itu sendiri dilatarbelakangi oleh perkembangan sejarah Gereja di Barat
dalam menghadapi sisa-sisa pengikut Arianisme yang menolak keilahian Yesus
Kristus. Penambahan filioque menegaskan keilahian Yesus. Jadi, jika memang hal
ini yang melatarbelakangi penyisipan klausa filioque dalam Kredo
Nicea-Konstantinopel itu, maka penyisipan itu sejak semula tidak dimaksudkan
untuk menyerang Gereja Timur.Protes keberatan Gereja-gereja Timur dianggap
kurang beralasan oleh Gereja Barat, sehingga pada tahun 1054 terjadilah Skisma
Akbar. Kedua kubu saling mengekskomunikasi.
Baru
pada penutupan Konsili Vatikan II (1965), oleh kedua belah pihak, surat
keputusan ekskomunikasi itu dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.Namun
demikian, perdebatan teologis mengenai kata filioque antara Gereja Barat
(Katolik Roma) dan Timur (Orthodox) belum juga selesai. Gereja Barat sebenarnya
tidak pernah memandang penambahan filioque itu sebagai usaha untuk mengurangi
makna identitas Sang Bapa sebagai satu-satunya sumber dan asal-usul, justru
sebaliknya dianggap sebagai penegasan posisi ajaran Gereja dalam menghadapi
sisa-sisa pengikut ajaraan bida’ah Arianisme.
Panambahan
filioque bukanlah penambahan isi wahyu Perjanjian Baru. Filioque merupakan
interpretasi yang ingin mengungkapkan bahwa Roh adalah Roh Yesus Kristus (Rom
8:9; Flp 1:19), Roh Tuhan (2Kor 3:17); dan Roh Sang Putera (Gal 4:6). Roh Kudus
bukanlah semacam roh rekaan atau pujaan, melainkan Roh yang harus dilihat dan
dimengerti menurut pribadi dan karya Yesus Kristus. Hal ini sebenarnya juga
diyakini oleh Gereja Timur.Pada hakikatnya, Gereja Barat dan Timur memiliki
iman yang satu dan sama,namun dalam banyak segi kedua belah pihak tidaklah
sama. Misal, liturgi di Timur di mana-mana liturginya selalu sama
belaka. Sedangkan di Barat terdapat banyak sekali variasi bentuk-bentuk upacara
liturgi[6].
Asal-usul
permasalahan ini tampak sebagaimana telah diutarakan oleh Johannes Grohe,
sebuah konsili regional di Persia pada tahun 410 memperkenalkan salah satu dari
bentuk terawal dari filioque dalam kredo Nicea; konsili ini mengajarkan bahwa
Roh Kudus keluar dari Sang Bapa "dan dari Sang Putera." Karena
berasal dari teologi Kristiani Syria Timur yang kaya itu, maka ekspresi
tersebut dalam konteks ini secara otentik bersifat Timur. Oleh karena itu
filioque tidak dapat disebut sebagai inovasi Gereja Barat semata-mata, tidak
pula sebagai sesuatu yang diciptakan oleh Sri Paus.
Dalam
Gereja Barat, St. Augustinus dari Hippo, mengikuti Tertullianus dan Ambrosius,
mengajarkan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan Sang Putera, meskipun
tidak lebih rendah dari keduanya. Teologinya, termasuk teologi Trinitasnya,
dominan di Barat sampai Abad Pertengahan. Para Bapa Latin lainnya juga
berbicara mengenai Roh Kudus yang keluar baik dari Sang Bapa maupun Sang
Putera. Meskipun cara berbicara seperti ini dikenal akrab di Barat, namun tidak
dikenal di Wilayah Kekaisaran Romawi Timur yang berbahasa Yunani itu.
Jadi Filioque
diperkenalkan di Barat pertama kali di Spanyol, kemudian di Gallia, namun tidak
di Roma, dan bukan oleh inisiatif Sri Paus, karena itu tidaklah akurat jika
dikatakan, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa sejarawan, bahwa
"Gereja Katolik" (secara keseluruhan) memperkenalkan filioque ke
dalam Misa. Gereja-Gereja Timur, misalnya Gereja Maronit yang sepenuhnya
merupakan bagian dari Gereja Katolik, tidak pernah menggunakan filioque. Lagi
pula frasa tersebut dipergunakan secara luas di Barat, mengikuti bahasa dari
para Bapa Latin, di luar Misa, khususnya di Spanyol dan Gallia. Jadi, lebih
akurat jika dikatakan bahwa filioque adalah sebuah ungkapan yang terdapat dalam
Gereja Latin. Bagaimanapun juga, pada milenium pertama, yang disebut sebagai
"Gereja Katolik" itu adalah Gereja Kristiani yang mencakup baik
Gereja Timur maupun Gereja Barat.
4.
Bangsa
Frank dan Filioque
Sesudah kaum
Visigoth, kaum Frank juga menerima klausa filioque sebagai bagian dari Kredo
Nicea. Saat itu Bangsa Frank yang dipimpin oleh Pippin Muda dan puteranya
Charle Magne sedang mendominasi kekuasaan di dunia Barat. Charle Magne
dimahkotai menjadi kaisar pada tahun 800. Paus Leo III melarang penyisipan
klausa "filioque" ke dalam Kredo Nicea sebagaimana yang dilakukan
kaum Frank di Aachen pada tahun 809. Dia juga memerintahkan agar mengukirkan
Kredo Nicea pada sebuah prasasti perak agar keputusannya tidak dapat
diganggu-gugat di kemudian hari. Dia menuliskan kata-kata “HAEC LEO POSUI AMORE ET CAUTELA ORTHODOXAE FIDEI” ( Saya, Leo,
menempatkan di sini demi kasih dan perlindungan iman ortodoks).[7] Sekalipun demikian, di kalangan kaum
Franks klausa filioque secara luas dianggap sebagai bagian integral dari Kredo
Nicea. Banyak orang menyangka bahwa Gereja-Gereja Yunani, yang pada masa itu
berada dalam cengkeraman para kaisar dan didominasi bida,ah ikonoklasme, telah
sesat karena meniadakan klausa tersebut dari Kredo Nicea. Penggunaan Kredo
Nicea versi tambahan tadi dianggap normatif dan otentik pada masa itu. Dominasi
Bangsa Frank menekan Roma untuk mengadopsi tambahan filioque, namun Roma
bertahan dengan versi asli sampai kira-kira dua ratus tahun kemudian.
5.
Kontroversi
Photius
Klausa filioque tiba-tiba menjadi
pokok bahasan utama dalam kontroversi seputar Photius dari Konstantinopel. Pada
tahun 858, Patriark Ignatius dari Konstantinopel tidak disukai Kaisar Byzantium
Mikhael III dan dilengserkan dari kedudukannya. Dia digantikan dengan seorang
awam bernama Photius, seorang sarjana ulung, sekretaris kekaisaran, dan duta
besar Byzantium untuk Baghdad. Ignatius dibuang ke Terebinthos dan dipaksa
menanggalkan jabatannya. Kelak Photius bahkan menggelar sebuah sinode yang
menyatakan bahwa jabatan Ignatius sebagai patriark itu invalid. Baik Photius
maupun Kaisar Mikhael serta para pendukung Ignatius naik banding kepada Paus
Nikolas, yang dengan segera memecat dan mengekskomunikasi Photius serta
mengakui Ignatius sebagai patriark yang sah pada tahun 863.
Photius, dengan dukungan Kaisar
Mikhael, menolak keputusan Paus. Untuk menarik keberpihakan Gereja-Gereja
Timur, dia mengeluarkan Ensiklik kepada Para Patriark Timur yang mengutuk
Gereja Latin karena perbedaan-perbedaan adat-kebiasaan, dan terutama karena
klausa filioque, yang dinilainya bida’ah. Klausa filioque menjadi unsur
terpenting, karena mengalihkan isu dari yurisdiksi dan adat-kebiasaan ke salah
satu dogma. Pada tahun 867, dia menghimpun sebuah sinode yang mengekskomunikasi
Paus Nikolas dan mengutuk "kesesatan" Gereja Latin.
Tindakan Photius sangat memengaruhi
relasi antara Gereja Timur dan Gereja Barat, karena dialah teolog pertama yang
mengangkat klausa filioque menjadi sebuah isu perdebatan dan menunding Roma
sebagai bida’ah dalam permasalahan tersebut. Alur kritikan ini selanjutnya
makin bergaung dan menjadikan rekonsiliasi antara Timur dan Barat sulit
dicapai. Photius diakui sebagai seorang santo oleh Gereja Ortodoks Yunani.
6.
Bangsa
Frank di Roma
Sepanjang abad
ke-9 dan abad ke-10, para paus menolak mengadopsi klausa filioque. Posisi ini
berkhir pada tahun 1014, tatkala Raja Jerman Henrikus II berkunjung ke Roma
untuk dimahkotai menjadi kaisar. Di masa itu, kepausan sangatlah lemah dan agar
mampu terus bertahan, Sri Paus membutuhkan dukungan militer dari kaisar.
Henrikus
mendapati bahwa kredo tidak diucapkan dalam Misa di Roma, tidak seperti di
negeri-negeri Bangsa Frank. Maka atas permintaannya, Paus Benediktus VIII
mengatur agar Kredo diucapkan sesudah pembacaan Injil, dan klausa filioque
digunakan dalam Misa di Roma untuk pertama kalinya.
7.
Skisma
Akbar dan Upaya-Upaya Rekonsiliasi
Pada tahun 1054
argumen mengenai filioque berkontribusi kepada Skisma Akbar antara Timur dan
Barat. Ada banyak isu yang terlibat, sebagian besar berdasar atas
kesalahpahaman antara tradisi Yunani dan tradisi Latin, serta temperamen panas
dari para antagonis. Legatus paus Kardinal Humbertus dari Silva Candida, yang
diutus Paus Leo IX ke Konstantinopel untuk mengusahakan kesepakatan dengan
pihak Timur, justru mengekskomunikasi Patriark Mikhael Kerularius, yang dibalas
patriark tersebut dengan mengekskomunikasi Humbertus.
Selama
bertahun-tahun, sebagian besar umat Ortodoks Timur dan Katolik Romawi sendiri
tidak berpikir bahwa telah terjadi skisma di antara mereka; karena tak satupun
Gereja yang telah mengekskomunikasi Gereja lain. Banyak umat Kristiani Slavia
menganggap keseluruhan episode tersebut sebagai perselisihan antar pribadi.
Lagi pula validitas dari ekskomunikasi atas Patriark Mikhael patut
dipertanyakan, karena Paus Leo yang memberi wewenang kepada Humbertus, telah
wafat sebelumnya.
7. Faktor-faktor
penghambat
Pada tahun 1274,
Konsili Lyon II, yang dihadiri Patriark Konstantinopel, mengatakan bahwa Roh
Kudus keluar dari Sang Bapa dan Sang Putera, sejalan dengan filioque dalam
Kredo Nicea versi Latin pada masa itu. Kenangan pahit akan penjarahan
Konstantinopel tahun 1204 oleh pasukan Perang Salib menjadikan kebanyakan umat
Kristiani Byzantium tidak menginginkan rekonsiliasi dengan pihak Barat. Pada
tahun 1282, Kaisar Byzantium Mikhael VIII Palaeologus mangkat, dan Patriark
Yohanes XI, yang mendukung rekonsiliasi dengan Gereja Latin, dipaksa lengser;
persatuan-kembali gagal dicapai.
Hampir sepanjang
abad ke-14, terdapat dua kubu kepausan yang saling mengekskomunikasi. Skisma
Barat akhirnya diakhiri dalam Konsili Constance, namun pada masa itu pihak
Timur sulit sekali untuk mengadakan rekonsiliasi dengan Gereja Barat yang
sedang mengalami perpecahan di dalam tubuhnya itu. Lagi pula, pada pertengahan
abad itu, sepertiga warga Eropa Barat tewas akibat Wabah Hitam. Orang-orang
lebih memikirkan bagaimana untuk bertahan hidup dari pada memikirkan persatuan
Gereja.
8. Konsili
Florence
Pada abad ke-15,
Kaisar Byzantium Yohanes VIII Palaeologus, Yosef, Patriark Konstantinopel, dan
uskup-uskup lain dari Timur melakukan perjalanan ke Italia Utara untuk
menghadiri Konsili Florence dengan harapan dapat berekonsiliasi dengan Roma dan
mendapatkan bala bantuan negara-negara Barat untuk melawan serbuan Kerajaan
Ottoman.
Sesudah melewati
diskusi yang ekstensif, di Ferrara, selanjutnya di Florence, mereka mengakui
bahwa beberapa Bapa Latin berbicara mengenai prosesi Roh Kudus dengan cara yang
berbeda dari cara para Bapa Yunani. Karena konsensus para Bapa dianggap dapat
dipercaya, sebagai kesaksian akan iman bersama, dan karena Kaisar Byzantium
benar-benar butuh bantuan militer dari Barat, maka kredo versi Latin dengan
tambahan klausa filioque itu dianggap tidak sesat dan bukan suatu hambatan menuju
pemulihan persekutuan penuh. Kaisar sungguh-sungguh berharap mendapatkan bala
bantuan dari pihak Barat guna menghadapi ancaman Ottoman sehingga menekan
beberapa uskup Timur untuk menandatangani dekrit persatuan antara Timur dan
Barat, Laetentur Coeli pada tahun 1439.
Dengan demikian
dalam waktu singkat, secara resmi dan di hadapan publik, Gereja Katolik Romawi
dan Gereja Ortodoks Timur telah bersatu kembali. Konsili Florence membantu
menetapkan sebuah prinsip fundamental: Gereja haruslah satu dalam keyakinan-keyakinan
esensialnya, namun boleh berbeda dalam budaya, adat-kebiasaan, dan ritusnya.
Permasalahan klausa filioque pada masa itu dipandang tidaklah merusak
keseragaman iman tersebut.
Sekalipun
demikian, tak lama kemudian rekonsiliasi yang dicapai di Florence itu hancur.
Salah seorang di antara para uskup Ortodoks peserta konsili itu, Markus dari
Efesus, menolak menandatangani dekrit tersebut dengan alasan bahwa Roma sesat
sekaligus skismatik karena menerima klausa filioque serta klaim yurisdiksi universal
dari Sri Paus atas Gereja. Banyak umat dan uskup Ortodoks lainnya menolak
persatuan itu. Bagi banyak pihak di Barat, kesepakatan Florence dipandang
sebagai suatu tindak pemaksaan teologi skolastik, serta sebagai suatu upaya
habis-habisan untuk meminta pertolongan.
Bala tentara
Barat yang dijanjikan itu terlambat tiba untuk dapat mencegah jatuhnya
Konstantinopel ke tangan Bangsa Turki pada tahun 1453. Sejak saat itu, Bangsa
Turki berusaha memperlebar perpisahan dari Barat, yang dipandang sebagai
ancaman terhadap dominasi militer dan politik Islami. Patriark Konstantinopel
kini tunduk di bawah kehendak penguasa Muslim; Gereja Timur tak lagi merdeka.
Sekalipun
kontroversi filioque telah resmi terselesaikan baik bagi pihak Ortodoks maupun
Katolik Romawi, resolusi di Florence tidak sepenuhnya diterima atau pun
bertahan lama.
9. Filioque
dan Doktrin Trinitas
Klausa filioque
menjadi bagian integral dari sebagian teologi Barat mengenai Trinitas karena
ajaran-ajaran para Bapa Gereja Barat seperti St. Augustinus dari Hippo,
Anselmus dari Canterbury dan Thomas Aquinas berisi pernyataan-pernyataan bahwa
Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan Sang Putera. Para Bapa Gereja Timur,
seperti St. Yohanes dari Damaskus dan Gregorius Palamas, melestarikan tradisi
Kredo asli yang dikeluarkan di Konstantinopel pada tahun 381 dan oleh karena
itu filioque terasa asing bagi teologi Gereja Timur. Para teolog di Timur
seperti Patriark Photius berkeberatan atas ajaran yang diekspresikan filioque,
karena bertentangan dengan doktrin yang berterima dan alkitabiah. Mereka
berpendapat bahwa karena Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan Sang Putera maka
terdapat dua sumber keilahian, padahal di dalam Allah Yang maha Esa itu hanya
boleh terdapat satu sumber keilahian atau ketuhanan saja.
Para teolog
Barat menjawab keberatan ini dengan mengatakan bahwa Roh Kudus keluar dari Sang
Bapa dan Sang Putera "selayaknya dari satu sumber."[8]
Akan tetapi pihak Timur sekali lagi berkeberatan dengan alasan formulasi ini
akan menggabungkan dan membaurkan pribadi Sang Bapa dan pribadi Sang Putera.
Mereka juga berpendapat bahwa jika Sang Bapa dan Sang Putera sama-sama
merupakan sumber keilahian dan hanya Roh Kudus yang tidak demikian, artinya
status Roh Kudus menjadi relatif lebih rendah daripada Sang Bapa dan Sang Putera.
Meskipun
demikian, guna membela tradisi Barat, Thomas Aquinas berpendapat bahwa Roh
Kudus adalah baik Roh dari Sang Bapa maupun Roh dari Sang Putera, dan bahwa
Sang Bapa dan Sang Putera sudah termasuk dalam eksistensi Roh Kudus, sehingga
menjadikan klausa filioque sebagai suatu kebutuhan teologis.[9]
Dia menemukan perbedaan pribadi mereka dalam hubungan oposisi mereka (Sang Bapa
secara aktif menggenerasi Sang Putera dan men-spirasi Roh Kudus, Sang Putera
secara pasif digenerasi dari Sang Bapa dan secara aktif men-spirasi Roh Kudus,
Roh Kudus secara pasif dispirasi dari Sang Bapa dan dari Sang Putera sehingga
dengan demikian menghubungkan ketiga pribadi tersebut dalam hubungan oposisi,
yang membedakan mereka satu sama lain) dan dia menemukan kesetaraan-penuh
mereka dalam hakikat ilahiah mereka yang sama.[10]Karena
Aquinas memandang kuasa untuk men-spirasi (atau menghembuskan) Roh Kudus
sebagai sesuatu yang berasal dari hakikat ilahi maka ia menganggap bahwa
kemampuan itu tentunya dimiliki bersama oleh Sang Bapa dan sang Putera.
Meskipun
demikian, para teolog Timur berpendapat bahwa jika esensi ilahi itu sendiri
merupakan sumber keilahian di dalam Allah, maka akan timbul masalah baru: orang
akan beranggapan bahwa Roh Kudus keluar dari diriNya sendiri, karena Roh Kudus
tentunya tidaklah terpisah dari esensi ilahi tersebut. Namun para teolog
skolastik Barat seperti Anselmus dari Canterbury dalam karyanya Monologion,
menggunakan Kitab Suci dan akal budi untuk menanggapi pokok bahasan tersebut
serta menunjukkan bahwa memang terdapat suatu urutan prosesi dalam Keallahan
yang mengatur prosesi Roh Kudus dari diriNya sendiri.
Sekalipun ada
argumen-argumen para Bapa Barat tersebut, klausa filioque dan teologi yang
terkait dengannya di Barat, tetaplah tidak dapat diterima di Gereja Timur. Hal
ini terjadi karena para teolog utama Gereja Timur memahami perbedaan-perbedaan
antar pribadi Trinitas itu sedemikian rupa sehingga mengharuskan prosesi Roh
Kudus itu hanya dari Sang Bapa semata. Yohanes dari Damaskus, dalam karyanya
Eksposisi yang Tepat dari Iman Ortodoks berpendapat bahwa perbedaan antara Sang
Putera dan Roh Kudus terdapat dalam kekhasan cara mereka berasal-usul dari Sang
Bapa, yang merupakan satu-satunya penyebab yang tak berasal-usul bagi kedua
Pribadi Ilahi lainnya. Dia menerangkan bahwa Sang Putera secara unik
"lahir" dari Sang Bapa sedangkan Roh Kudus itu "keluar"
dari Sang Bapa, serta bahwa perbedaan antara kedua cara berasal-usul tersebut
tidak dapat difahami oleh manusia.[11]
10.
Mendamaikan
tradisi Timur dan tradisi Barat
Para teolog
Barat seperti Anselmus dari Canterbury dan Thomas Aquinas mengkritik pihak
Timur karena tidak cukup menjelaskan hubungan dan urutan kekal antara Sang
Putera dan Roh Kudus. Aquinas berpendapat bahwa jika benar bahwa Roh Kudus itu
secara kekal "keluar dari" Sang Putera maka sampai tingkat tertentu
Roh Kudus itu mesti pula secara kekal "berasal dari" Sang Putera,
sebagainya yang dinyatakan oleh klausa filioque.[12]
Akan tetapi
hubungan antara Sang Putera dan Roh Kudus dijelaskan oleh para Bapa Timur
dengan cara yang tidak perlu melibatkan filioque. Yohanes dari Damaskus
menyatakan bahwa digenerasinya Sang Putera dan diprosesinya Roh Kudus itu
terjadi bersamaan, dan bahwa Roh Kudus secara kekal keluar dari Sang Bapa dan
hinggap pada Sang Putera.
Teolog modern dari Gereja Ortodoks Timur,
Dumitru Stăniloe melihat adanya sebuah jawaban yang lebih lengkap mengenai
hubungan antara Sang Putera dan Roh Kudus ini dalam teologi dari Gregorius
Palamas, karena dia mendapati dalam teologi Palamas terdapat gagasan bahwa Roh
Kudus keluar dari Sang Bapa dan hinggap pada Sang Putera lalu kembali dari Sang
Putera dalam wujud kasihnya akan Sang Bapa.[13]
11.
Gereja Ortodoks Timur
Hingga hari ini Gereja Ortodoks
menggunakan Kredo Nicea-Konstantinopel tahun 381 tanpa filioque. Gereja-Gereja
Timur berulang kali telah menolak frasa tersebut karena menganggapnya sebagai
sebuah interpolasi yang tidak sah, suatu contoh dari apa yang mereka anggap
sebagai kesewenang-wenangan pihak barat.
Baik Patriark Photius pada tahun 862
maupun Patriark Kerularius pada tahun 1054 menuduh pihak Barat sebagai bida,ah
karena mengintroduksi filioque dalam Kredo. Pada umumnya, kecuali selama jeda
rekonsiliatif pada tahun 1274 dan 1439, yakni di saat Konsili Lyons II dan
Konsili Florence, banyak umat Ortodoks telah mengulangi tuduhan bidaah mereka
sampai sekarang. Di lain pihak, sejak abad ke-13, umat Ortodoks lainnya telah
menunjukkan bahwa tak satu pun konsili ekumenis yang pernah mengutuk segenap
Gereja Barat dan mengekskomunikasi anggota-anggotanya. Oleh karena itu, menurut
hemat mereka, kaum Latin seharusnya tidak ditolak dari komuni karena ada
filioque dalam kredo mereka.
Patriark Ortodoks Gregorius II dari
Siprus, pengganti sekaligus penentang dari pendukung filioque pasca-Lyon
Yohanes XI, mengajukan sebuah rumusan berbeda yang dianggap sebagai sebuah
"jawaban" yang Ortodoks terhadap filioque, meskipun rumusan itu tidak
memiliki status sebagai doktrin Ortodoks yang resmi. Gregorius berbicara
mengenai suatu manifestasi kekal dari Roh Kudus oleh Sang Putera. Dengan kata
lain, dia berpandangan bahwa Sang Putera secara kekal memanifestasikan
(memperlihatkan) Roh Kudus.
Pada umumnya, bahkan sampai masa Konsili
Florence, karya-karya tulis para Bapa Latin tidak banyak diketahui oleh
khalayak pembaca di Timur, karena bahasanya tidaklah dimengerti. Oleh sebab itu
formulasi filioque, di samping maknanya, tidaklah benar-benar difahami di
Timur. Sampai sekarang, beberapa praktik Barat masih dikutuk sebagai kesesatan
oleh sementara orang di Timur, bahkan adat-kebiasaan disipliner seperti
keharusan selibat bagi para imam, atau cara pembaptisan dengan pencurahan air,
bukannya penenggelaman sebanyak tiga kali. Berulang kali filioque dikedepankan
sebagai contoh pertama dari bidaah.
Meskipun demikian, pada tahun-tahun
terakhir ini, beberapa teolog Ortodoks telah memandang filioque dari sudut
pandang baru, sudut pandang rekonsiliasi Timur dan Barat. Theodore
Stylianopoulos, salah satunya, memberikan pandangan kesarjanaan yang ekstensif
secara umum mengenai diskusi kontemporer seputar klausa filioque. Dua puluh
tahun setelah pertama kali menulis buku The Orthodox Church, Metropolitan
Kallistos dari Diokleia berujar bahwa dia telah berubah pikiran; kini dia
menganggap permasalahan filioque sebagai masalah yang terutama bersifat semantik.
Banyak warga Gereja Ortodoks merasa bahwa dengan menurunkan arti penting dari
filioque, Metropolitan Kallistos telah menerima ajaran bidaah yang terkandung
di dalamnya, yang nyata-nyata bertentangan dengan perkataan Kristus dalam
Injil, dan telah dikutuk secara spesifik oleh Gereja Ortodoks. Jadi, bagi
sebagian umat Ortodoks, klausa filioque, yang masih menjadi pokok konflik, sama
sekali bukanlah halangan bagi terjalinnya persekutuan penuh antara Gereja
Katolik dan Gereja Ortodoks jika isu-isu lainnya telah terselesaikan. Bagi
sebagian lainnya, filioque tetap merupakan ajaran bidaah fundamental yang
menceraikan Timur dengan Barat.
12.
Gereja Katolik Roma
Pada tahun 1274,
dalam Konsili Lyon II, Gereja Katolik Romawi mengutuk orang-orang yang
"berani menyangkal" bahwa Roh Kudus keluar dari Sang Bapa dan Sang
Putera. Beberapa waktu yang lalu, banyak teolog Katolik Romawi telah menulis
mengenai filioque, dengan maksud ekumenis. Yves Congar, O.P., berpendapat bahwa
formulasi yang berbeda-beda itu dapat dipandang bukan sebagai hal-hal yang
saling bertentangan melainkan saling melengkapi. Irenee Dalmais, O.P.
menunjukkan bahwa Timur dan Barat masing-masing memiliki pneumatologi, teologi
tentang Roh Kudus, yang berbeda namun saling melengkapi. Avery Dulles, S.J.,
menelusuri sejarah kontroversi filioque dan menimbang-nimbang pro dan kontra
atas beberapa kemungkinan bagi rekonsiliasi.
Secara resmi,
Gereja Katolik Romawi tidak memaksakan pengucapan filioque pada pihak Timur.
Gereja-Gereja Katolik Timur, misalnya umat Katolik Byzantium Melkit, dan
Ruthenia tidak memasukkan filioque dalam kredo. Kelompok-kelompok lainnya yang
kembali dalam persekutuan dengan Gereja Katolik Romawi mengajukan syarat bahwa
mereka akan kembali dalam persekutuan dengan Roma jika mereka tidak diwajibkan
menyertakan rumusan "dan Sang Putera" dalam pengucapan kredo mereka.
Secara umum Gereja-Gereja Katolik Timur berpemahaman bahwa filioque dimengerti
dengan cara yang selaras dengan tradisi-tradisi Timur.
Dalam banyak
liturgi, bilamana berkonselebrasi dengan para uskup Timur, Sri Paus mendaraskan
Kredo Nicea tanpa filioque. Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II
berpandangan bahwa naskah kredo tahun 381 sepenuhnya benar, serta penggunaan
filioque dalam liturgi-liturgi Timur tidaklah tepat.
Yang cukup
penting untuk disimak adalah klarifikasi filioque yang baru-baru ini
dikeluarkan oleh Dewan Kepausan bagi Promosi Kesatuan Kristiani. Perumusan
dokumen ini dilakukan atas permintaan khusus dari Uskup Roma. Judulnya Tradisi
Yunani dan Tradisi Latin Berkenaan dengan Prosesi Roh Kudus. [14]
13.
Diskusi-diskusi
dan pernyataan-pernyataan bersama
Pergeseran
kebijakan yang jarang diketahui dari pihak Katolik Roma dalam kelanjutan kisah
kontroversi ini dapat disimak dalam sebuah dokumen resmi yang dipublikasikan
pada tanggal 6 Agustus 2000 dan disusun oleh Paus Benediktus XVI, ketika masih
menjabat sebagai Kardinal Joseph Ratzinger, prefek dari Kongregasi Doktrin
Iman, dengan dibantu oleh sekretaris kongregasi tersebut saat itu yakni
Kardinal Tarcisio Bertone. Dokumen ini, Dominus Iesus, (Kalimat Latin yang
artinya "Tuhan Yesus"), dengan sub judul "Perihal Kebersatuan
dan Universalitas berkeselamatan dari Yesus Kristus dan Gereja" berisi
sikap yang luar biasa, karena dalam versi Latin resmi dari dokumen ini,[13]
(paragraf kedua pada bagian pertama), klausa filioque diam-diam dilewatkan
tanpa bahasan maupun komentar. Dokumen ini menjadi bertambah penting seiring
peralihan jabatan penyusunnya dari kardinal menjadi Paus.
Klausa filioque
menjadi pokok bahasan utama dalam pertemuan ke-62 dari Konsultasi Teologis
Ortodoks-Katolik Amerika Utara, bulan Juni 2002. Hasilnya, diduga kini pihak
Ortodoks sudah dapat menerima suatu filioque "ekonomis" yang
menyatakan bahwa Roh Kudus, yang berasal dari Sang Bapa semata itu, diutus bagi
Gereja "melalui Sang Putera" (seagai Sang Parakletus), namun hal ini
bukanlah doktrin resmi Ortodoks. Pada bulan Oktober 2003, Badan Konsultasi
tersebut mengeluarkan sebuah kesepakatan bersama, Filioque: Sebuah Isu
Pemecah-Belah Gereja?, yang berisi suatu tinjauan ekstensif dari Kitab Suci,
sejarah, dan teologi. Rekomendasi-rekomendasinya meliputi, sebagai contoh:
Bahwasanya semua
pihak yang terlibat dalam dialog tersebut serta-merta mengakui
keterbatasan-keterbatasan kemampuan kami untuk membuat asersi-asersi definitif
mengenai hidup pribadi Allah.
Bahwasanya, di
kemudian hari, dengan adanya kemajuan dalam saling memahami yang telah timbul
dalam dasawarsa-dasawarsa terakhir, umat Ortodoks dan Katolik berhenti memberi
label bidaah pada tradisi-tradisi dari pihak lain dalam hal prosesi Roh
Kudus.Bahwasanya para teolog Ortodoks dan Katolik makin jelas membedakan antara
identitas ilahiah dan hipostatis dari Roh Kudus (yang merupakan suatu dogma
yang diterima oleh Gereja-Gereja kami) dan cara Roh Kudus berasal-usul, yang
masih menunggu resolusi ekumenis yang sepenuhnya dan bersifat final.Bahwasanya
pihak-pihak yang terlibat dalam dialog mengenai isu tersebut membedakan,
sedapat mungkin, isu-isu teologis mengenai asal-usul Roh Kudus dari isu-isu eklesiologis
mengenai primasi dan otoritas doktrinal dalam Gereja, bahkan di saat kami
membahas kedua permasalah tersebut dengan serius, secara
bersama-sama.Bahwasanya dialog teologis antara Gereja-Gereja kami juga secara
hati-hati membicarakan status dari konsili-konsili mutakhir yang diadakan dalam
kedua Gereja kami setelah ketujuh konsili yang secara umum diterima sebagai
konsili ekumenis.
Bahwasanya
Gereja Katolik, sebagai konsekuensi dari nilai dogmatis yang normatif dan yang
tak terbatalkan dari Kredo tahun 381, hanya menggunakan naskah Yunani asli
dalam membuat terjemahan-terjemahan Kredo tersebut bagi keperluan katekese dan
liturgi.
Bahwasanya
Gereja Katolik, mengikuti konsensus teologis yang makin berkembang, khususnya
pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh Paus Paulus VI, menyatakan bahwa
pengutukan yang dilakukan dalam Konsili Lyons II (1274) atas orang-orang
"yang berani menyangkal bahwa Roh Kudus keluar secara kekal dari Sang Bapa
dan Sang Putera" tidak berlaku lagi.
Dalam penilaian
badan konsultasi terseut, persoalan filioque tidak lagi menjadi sebuah isu
"Pemecah-Belah Gereja", yakni isu yang dapat merintangi rekonsiliasi
penuh dan komuni penuh. Adalah bagian para uskup Gereja Katolik dan Gereja
Ortodoks untuk meninjau karya ini dan membuat keputusan apapun yang tepat.
C.
PROSES PENYELESAIAN SKISMA
1
Konsili Pisa
Konsili ini
pertama-tama bertujuan untuk mencari jalan penyelesaian untuk mendamaikan kedua
kubu kepausan. Tetapi sebelum
konsili Pisa dimulai Paus Urbanus VI dan Paus Klemens VII meninggal. Paus
Urbanus VI digantikan oleh Paus Bonifasius IX sedangkan Paus Klemens VII
digantikan oleh Paus Benediktus XIII. Pada konsili ini para peserta konsili
meminta Paus Klemens VII dan Paus Benediktus XIII agar meletakan jabatanya
sebagai paus namun permintaan ini
ditolak. Pencopotan jabatan ini disebabkan Karena kedua paus dinyatakan sebagai
skismatis dan bida’ah. Kemudian para peserta konsili mengambil satu keputusan
untuk memilih paus baru yakni, memilih secara sah Kardinal Pietro Philargi
sebagai paus dengan nama Alexander V (1409-1410). Dengan terpilihnya Kardinal
Pietro Philargi menjadi paus maka Gereja dipimpin oleh tiga orang paus tetapi
secara Yuridiksi hanya Paus Alexander V yang diakui sebagai paus. Konsili ini
berakhir tanpa adanya penyelesaian namun justru menambah kekacauan dalam tubuh
Gereja[15]. Sebab persoala hanya bergeser dari dualitas yang
bermusuhan: Roma vs Avignon tripiltas terkutuk: roma Avignon Konsili pisa. Tak
seorang pun baik Benediktus XIII dan Gregorius XII, menerima vonis konsili
Pisa, kendati Aleksander diakui oleh Prancis, Inggris dan hampir semua uskup
Jerman setahun kemudian Aleksander V wafat dan diganti oleh kardinal Baldassar
Cossa yang bergelar Yohanes XXIII. Paus in dikenal memiliki kemampuan memimpin.
Namun ia sangat emosional, lebih cocok sebagai pemimpin serdadu daripada
gembala jiwa-jiwa. Ia tidak berminat untuk reformasi gereja, sehingga sinode di
Roma yang ia pimpin tidak menyentuh sedikit pun masalah regformasih. [16]
2 Konsili Konstanz
Konsili
Pisa yang berakhir dengan kekacauan memicu Raja Sigismundus Luksemburg untuk
memprakarsai agar mengadakan suatu konsili yang bertempat di Konstanz dengan
maksud untuk menghentikan skisma dan kemudian mengadakan pembaharuan dalam
tubuh Gereja. Rencana untuk mengadakan konsili akhirnya disetujui oleh Paus
Gregorius XII dengan Bulla resmi kepausan. Dengan Bulla ini maka konsili
Konstan dimulai. Dalam konsili ini ditekankan tiga hal penting yang hendak
dilaksanakan yakni, yang pertama: Causa
Unionis (Membubarkan Skisma Barat), yang kedua: Causa Fidei (Membela dan Mempertahankan Gereja dari Serangan Kaum
Heretik), yang ketiga: Causa
Reformationis (Pembenahan Gereja). Konsili ini merupakan salah satu konsili
yang terbesar karena dihadiri oleh sejumlah tokoh-tokoh Gereja, para raja
maupun awam.
Pada
awal konsili ini disepakati bersama, bahwa Voting, (untuk memilih Paus baru)
akan dilakukan berdasarkan negara, bukan berdasarkan peserta. Dengan keputusan
ini Itali merasa terpukul karena jumlah mereka sekitar 55% dari seluruh peserta
yang menghadiri konsili. Keputusan ini juga memancing ketegangan antara kaisar
dan sidang. Yohanes sudah berjanji berjanji secara meriah untuk turun tahta,
jika Paus-Paus yang lain melakukan hal yang sama.
Ketegangan
pun tidak segera teratasi dan ini menjadi
penyebabkan
Paus Yohanes XXIII meninggalkan konsili
tetapi kemudian Ia ditangkap dan diproses secara hukum. Pada tanggal 16 April
1415 Kardinal Zabarela mengeluarkan beberapa artikel yang memuat tentang
aturan-aturan dan prinsip dalam memilih paus yang dikenal dengan teori
Konsiliriasme yang merupakan ajaran resmi Gereja dan menekankan superioritas
konsili atas paus.[17]
Oleh karena itu konsili yang sah merupakan konsili yang
mendapat hak dan kuasa yang berasal dari Kristus sehingga setiap orang termasuk
paus wajib mematuhi setiap keputusan yang ditetapkan oleh konsili.
Pada
tanggal 29 Mei 1915 Paus Yohanes XXIII diturunkan dari jabatannya sebagai paus
dengan alasan, Dia telah meninggalkan konsili, mendukung skisma, hidup sarat
dengan skandal, dan melakukan simoni, atas dasar alasan ini Ia kemudian ditahan
selama empat tahun. Ketika Paus Gregorius XII mundur dari jabatannya sebagai
paus dengan alasan usia, namun Paus Benediktus
XIII tetap mempertahankan jabatanya meskipun hidup di tempat terasing
yakni di puri Peniscola Valencia sampai kematiannya pada tahun 1423. Setelah
kematiannya skisma tetap berlanjut pada tahun 1423 Egidius Mulos dipilih
menjadi paus dengan gelar Paus Klemens VIII. Tetapi di bawah kepemimpinan paus
ini, tidak membawa dampak apapun bagi pembaharuan hidup Gereja. Pada tahun 1429
Dia meletakan jabatannya sebagai paus. Dengan pengundurannya konsilipun memilih
paus baru, menegaskan superioritas konsili, dan diadakan sidang secara bertahap
dengan jangka waktu paling lama sepuluh tahun.
Menjelang
akhir konsili Kontans dipilih seorang paus baru yakni Kardinal Odo Colonna yang
mendapat gelar Paus Martinus V, dan kemudian disusul dengan desakannya
diberbagai edit yang berkaitan dengan pembaharuan Gereja. Akhirnya konsili
ditutup oleh paus Martinus V pada tanggal 22 April 1418. Dengan terpilihnya
Kardinal Odo Colonna menjadi paus maka berakhirlah sudah Skisma Besar Barat.
Pada
akhir September 1420 Paus Martinus V kembali ke Roma dan menetap di Roma.
Memperbaiki reputasi takhta suci merupakan prioritas utama dalam mengembankan
tugasnya sebagai paus. Mereparasi istana kepausan di Roma juga menjadi
tanggungjawab yang diembannya. Namun usahanya untuk membenahi kota Roma dan
membangun kembali wibawah kepausan tidak berbuah banyak karena Dia lebih
memperhatikan kepentingan Keluarganya. [18]
3 Konsili Basel
Konsili
ini disebut juga sebagai konsili pembaharuan rencana awal konsili ini akan
diadakan di Pavia namun kemudian dipindahkan ke Siena karena ketika itu sedang
terjadi penularan wabah penyakit sampar. Di sisi lain konsili ini hanya
dihadiri oleh segelintir orang sehingga untuk sementara waktu konsili ini
dibatalkan.
Setelah
Paus Martinus V meninggal, Dia digantikan oleh Paus Egidius IV yang kemudian meresmikan
konsili di Basel yang dipimpin oleh Yulianus Cesarini. Awalnya konsili akan
dibuka pada bulan Juli 1431 tetapi konsili ditunda lagi selama empat bulan
karena peserta konsili sangat sedikit, dan dipihak lain disebabkan oleh situasi
yang kurang kondusif di Italia. Hal inilah yang menyebabkan paus memindahkan
konsili ke Bologna tetapi para peserta konsili di Basel memutuskan beberapa keputusan konsili secara
tergesa-gesa.
Pada
tempat pertama direncanakan akan membahas tentang tiga tugas utama konsili
yakni, menepis kaum heresi, menetapkan perdamaian dengan bangsa-bangsa Kristen,
dan membenahi kehidupan Gereja. Namun konsili dibekukan oleh paus dengan Bulla
pada tanggal 18 Desember, meskipun sudah dibekukan namun konsili tetap
berlangsung. Rencana untuk memindahkan konsili ke Bologna ditentang oleh
Kardinal Casenni yang didukung oleh Raja Sigismundus. Konsili ini juga
bertujuan untuk meneguhkan kembali dekrit-dekrit yang dihasilkan oleh konsili
Konstans di antaranya berkaitan dengan perihal superioritas konsili ekumenis
terhadap Paus.
Akhirnya
konsili Basel mendapat pengakuan dari paus melalui Bulla Dudum Sacrum 15 Desenber 1433. Melalui Bulla ini barulah diketahui
maksud paus memindahkan konsili Basel ke Bologna, dengan tujuan mengajak Gereja
Yunani untuk terlibat dalam konsili dan juga untuk mempermudah dalam mengontrol
jalannya konsili[19].
4 Konsili Ferara
Konsili ini disebut juga sebagai konsili persatuan. Pada
tanggal 8 Januari 1438 konsili ini dibuka dengan tujuan untuk mempersatukan
kepentingan Gereja Yunani dan Gereja Latin. Konsili ini berlangsung dengan
suasana pembahasan yang sengit dan alot sehingga konsili beberapa kali diancam
akan ditutup. Tetapi karena para peserta konsili menyadari akan bahaya yang
ditimbulkan oleh bangsa Turki bagi
Gereja Latin dan Yunani maka konsili ini dilanjutkan karena persatuan Gereja
Yunani dan Gereja Latin dapat
menghidarkan Gereja dari kekacauan. Dalam konsili ini juga lahir skisma baru
yang disebabkan oleh para peserta konsili
di Basel tidak setuju dengan perpindahan tempat konsili. Skisma ini
diwarnai dengan ekskomunikasi dan diturunkannya Paus Eugenius dari jabatannya.
Tetapi skisma ini tidak menimbulkan perpecahan dalam tubuh Gereja.[20]
5 Konsili Firenze
Konsili
ini merupakan konsili yang membuka sejarah baru dalam Gereja. Para peserta
konsili menghasilkan beberapa pokok dogmatis Gereja yakni: peranan asal-usul
Roh Kudus, eksistensi api penyucian, penggunaan liturgi dalam ekaristi,
epiclesis dalam liturgi ekaristi, dan privat yuridiksi paus atas seluruh
Gereja. Konsili ini merupakan konsili yang melahirkan prinsip-prinsip dasar
dalam persatuan dengan Gereja.[21]
D. RANGKUMAN
Klausa filioque
pada mulanya timbul sebagai upaya untuk memperjelas hubungan antara Sang Putera
dan Roh Kudus, guna melawan ajaran bidaah bahwa Sang Putera lebih rendah dari
Sang Bapa karena Sang Putera tidak menjadi sumber dari Roh Kudus. Tatkala
filioque mulai digunakan di Spanyol dan Gallia di Barat, Gereja-Gereja setempat
tidaklah menyadari bahwa bahasa prosesi mereka tidak dapat diterjemahkan dengan
baik ke dalam bahasa Yunani. Baik dalam kontroversi Photius maupun dalam
Konsili Florence, para Bapa Yunani tidaklah akrab dengan isu-isu linguistik.
Asal-muasal
filioque di Barat terdapat dalam karya-karya tulis Bapa-Bapa Gereja tertentu di
Barat dan terutama dalam situasi anti-Arian pada abad ke-7 di Spanyol. Dalam
konteks ini, filioque merupakan sarana untuk menegaskan kepenuhan keilahian
baik dari Roh Kudus maupun dari Sang Putera. Filioque bukanlah sekedar masalah
menetapkan hubungan dengan Sang Bapa dan keilahian-Nya; filioque adalah masalah
penegasan atas pernyataan iman Katolik bahwa baik Sang Putera maupun Roh Kudus
sama-sama memiliki kepenuhan hakikat Allah.
Ironisnya, sikap
anti-Arian serupa juga sangat memengaruhi perkembangan liturgi di Timur,
sebagai contoh, adanya doa bagi "Kristus Allah kita", suatu ungkapan
yang kelak digunakan juga di Barat. Dalam kasus ini, musuh bersama, yakni
Arianisme, telah menimbulkan efek-efek yang mendalam dan luas jangkauannya,
dalam reaksi ortodoks baik di Timur maupun di Barat.
Isu filioque
telah menjadi satu-satunya poin teologis yang nyata dari perselisihan antara
Gereja Timur dan Gereja Barat. Semua perbedaan lain antara kedua belah pihak
tidaklah bersifat teologis; perbedaan-perbedaan tersebut tidak menyangkut
Allah, melainkan menyangkut aspek manusiawi dan duniawi dari Gereja, serta
lebih merupakan masalah yurisdiksi dan interpretasi kanonik.
Masalah-masalah
politik Gereja, konflik-konflik otoritas, perbedaan etnis, kesalahpahaman
linguistik, persaingan perorangan, dan motivasi-motivasi sekuler semuanya
terkombinasi dalam berbagai cara untuk memisahkan Timur dan Barat. Di antara
masalah-masalah tersebut, yang paling menonjol adalah isu infabilitas kepausan
dan isu primasi kepausan. Pembatalan terhadap klausa filioque di pihak Gereja
Barat pada dasarnya akan merongrong kedua isu tadi, karena filioque telah
diumumkan ex cathedra oleh para paus.
Lebih dari satu
kali, permasalahan filioque digunakan untuk menegaskan perpecahan. Kini, dengan
bertumbuhnya semangat cinta-kasih, sesuai kehendak Kristus, agar hanya ada satu
kawanan (Yoh 10:16; Yoh 17:22), boleh jadi permasalahan filioque akan
terselesaikan, sehingga Gereja Katolik dan Gereja Ortodoks dapat berdamai.
Daftar Pustaka
Allesandro, Barbero,
Charlemagne: Father Of a Continent.
CA: University Of Califo
rnia
Press, 2004.
Berkhof. H,
Sejarah Gereja. Jakarta: Gunung Mulia, 2010.
Collins, Michael, Menelusuri Jejak Kristianity.( Judul asli: The
Story of Christianity), diterjemahkan oleh Natalies (ed). Yogyakarta:
Kanisius,2006.
Helwig. W.L, Sejarah Gereja Kristus I.
Yogyakarta: Kanisius, 1972.
Kristiyanto, Eddy, Gagasan Yang Menjadi Peristiwa.
Jakarta: Gunung Mulia, 2010.
Van Den End. Th, Harta Dalam Bejana.
Jakarta: Gunung Mulia,1979.
http://www.ewtn.com/library/Curia/PCCUFILQ.HTM. Diakses pada 5
September 2007.
http://mb-soft.com/believe/txn/filioque.htm.
Diakses pada 10 Juni 2007.
[1] Drs.
W. L. helwig, Sejarah Gereja Kristus I
(Yogyakarta: Kanisius,1972) hlm. 66.
[4] Barbero,
Allesandro, 2004, Charlemagne: Father of a Continent. Allan Cameron,
trans. Berkeley, CA: University of California Press
[5] "Filioque Controversy".
2 Mei 2007. http://mb-soft.com/believe/txn/filioque.htm. Diakses pada 10 Juni
2007.
[6]
Drs. W. L. helwig, Sejarah Gereja Kristus
I (Yogyakarta: Kanisius,1972) hlm. 69.
[10]
Aquinas, Thomas. Summa
Theolologiae, Part I, 36.2.
[11]
Damascus,
John of. An Exact Exposition of the Orthodox Faith, Chapter XIII, (p.9 in Nicene
and Post-Nicene Fathers, vol. 9, edited by Philip Schaff).
[12]
Aquinas,
Thomas. Summa Theolologiae, Part I, 27 and 36.2 Answer paragraph 4.
[13]
Staniloe,
Dumitru. Theology and The Church (p. 29 in Saint Vladimir's Seminary Press
edition Translated by Robert Barringer).
[14] "The Greek
And Latin Traditions
Regarding The Procession Of The
Holy Spirit".
http://www.ewtn.com/library/Curia/PCCUFILQ.HTM.
Diakses pada 5 September 2007.
[15] Michael Collins (ed.), Menelusuri
jejak kristianity (judul asli:The
Story of Christianity), diterjemahkan oleh Natalies (ed.), (Yogyakarta:
Kanisius, 2006), hlm. 119-120.
[18]
H. Berkhof (ed.), Sejarah Gereja, (Jakarta: Gunung Mulia,
2010), hlm. 95.
[19]
Eddy Kristiyanto, Gagasan
yang Menjadi Peristiwa, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 217-218.
[20]
Eddy Kristiyanto, Gagasan…,
hlm. 220.
Langganan:
Postingan (Atom)